Thursday, May 14, 2015

Situ Juga Sama Saya

Aslinya diniatkan untuk status facebook. Tapi setelah dipertimbangkan lagi, akhirnya dijadikan postingan di blog saja. Selain untuk menjaga kesan blog tetap aktif. Tulisan ini mungkin kepanjangan kalau di status fb.

"Orang gayo juga tidak toleran." 

Komentar saya ini langsung disambut dengan emosi oleh seorang kawan. Tadi kami berjumpa setelah lama tak bertemu. Ngopi di warung milik saudaranya di pusat kota Takengon. Amarahnya kontan tersulut. Pernyataan saya tadi ditanggapinya dengan sangat panas. Bahkan mulai membawa soal suku, dan fakta bahwa saya pendatang dari pesisir yang kini menetap di Takengon.

Sebelumnya, kami menikmati kopi dengan santai. Tertawa berbagi cerita, dan bercanda soal banyak hal. Hingga kemudian dia mendadak berkeluh kesah tentang betapa tak tolerannya orang Aceh. 

Istilah orang Aceh ini, merujuk pada masyarakat Aceh yang mendiami wilayah pesisir, secara khusus kalau kita sesuaikan dengan pembicaraan kami, adalah masyarakat dengan suku dominan suku Aceh, di kota Banda Aceh.

"Mereka di sana tidak menghargai saya sebagai orang gayo. Semua berbicara dengan bahasa Aceh. Kalau saya bertanya tak paham, mereka tersenyum bahkan kadang tertawa. " Begitu katanya tadi "Bahkan sering sambil tertawa mereka mengatakan agar saya belajar bahasa Aceh. Itu kan sangat tidak toleran. Kenapa mesti bicara dengan bahasa mereka, kenapa bukan bahasa Indonesia saja."

Itulah pernyataannya yang saya jawab dengan "Orang gayo juga tidak toleran."

Sebagai pendatang. Saya jelas tidak paham bahasa gayo. Kosa kata saya masih sangat terbatas. Walaupun setelah sekian waktu, saya mulai bisa menangkap makna umum kalau ada yang berbicara dengan bahasa gayo. Tapi kalau berbicaranya cepat, maka hilanglah saya dalam dunia kata yang gelap gulita.

Itulah alasan saya selalu membawa buku dalam tas kecil saya. Bukan karena saya menganggap teman-teman di dataran tinggi Gayo tidak toleran. Sama sekali, bukan. Saya sepenuhnya sadar, saya sedang berada di daerah yang suku dominannya adalah suku Gayo. Yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Gayo. Dan warna adat istiadatnya tentu juga dominan adat Gayo. 

Sangat wajar bila kawan-kawan disini berbahasa Gayo. Karena memang itulah bahasa sehari-hari. Saya membawa buku, karena bila saya sudah bingung, dan saya tahu terlalu banyak bertanya hanya kan membuat suasana jadi kurang nyaman karena percakapan jadi terganggu ritmenya, maka saya membuka tas, mengeluarkan buku, dan mulai membaca.

Biasanya, tak lama kan ada yang bertanya apakah saya tidak bisa berbahasa Gayo. Lalu mereka mulai berbicara dengan bahasa Indonesia. Tak masalah walaupun kemudian ada saja percakapan yang kembali ke dalam bahasa Gayo. 

Berbicaralah dengan bahasa yang dipahami. Itu kata Sayyidina "Ali radhiallahu anhu. Ungkapan yang sejenis kemudian juga muncul ratusan tahun kemudian dalam ilmu komunikasi. Penggunaan bahasa lokal akan mendekatkan rasa dan menjembatani perbedaan. Itu juga alasan banyak pembicara publik/trainer/coach dan sejenisnya yang sering menggunakan sapaan dalam bahasa lokal saat membuka kegiatan atau memulai presentasi.

Sebagai pendatang, tentu saya merasa sebal, kalau tidak bisa memahami percakapan dalam bahasa lokal. Tapi solusinya bukan dengan meminta orang banyak berubah demi saya. Saya yang harus belajar. Dan sekarang walaupun belum bisa berbicara dengan bahasa lokal, mampu memahami sedikit-sedikit bisa membuat saya tetap ikutan ngobrol. Merka bicara bahasa gayo, saya komen dengan bahasa Indonesia. Lancar? Tidak juga, kadang kacau balau karena saya salah menterjemahkan. 

Tapi tak ada yang menghina. Tertawa, pasti ada. Jujur saja itu hal yang konyol dan lucu. Tapi kawan-kawan disini dengan santai akan menjelaskan ke bahasa Indonesia. Apalagi kalau saya sudah mulai mengeluarkan buku.

Menghargai dan menghormati, akan selalu jadi bahasa universal.

Jadi kawan, kalau kamu memprotes ketika pergi ke Banda Aceh karena sebagian besar orangnya berbicara bahasa Aceh, atau bahasa Gayo saat di Takengon, atau bahasa Jawa saat di Jogja, atau bahasa Sunda saat di Bandung. Maka proteslah ketika kamu ambil S2 atau S3 ke Amerika atau Inggris atau Australia, karena mereka bicara bahasa Inggris.

Bagaimana dengan kawan saya tadi? Saya jelaskan pendapat saya seprti yang saya tulis disini. Dia menerimanya, walaupun masih berkeras soal semestinya berbicara bahasa Indonesia saja. Saya tahu dia sepakat dengan saya. Tapi karena kami teman baik dari kuliah, saya juga tahu dia bukan type yang suka menerima kekalahan dalam berdebat. Yang penting, saya tahu, kami sepakat. 

Post a Comment

Start typing and press Enter to search